Apa yang terasa adalah jiwa yang melihat. Adalah tuli jika suara hati yang tersayat hanya menjadi seonggok benda mati yang tidak mempunyai sepercik jiwapun.
Menjadi miskin, tanpa harus meminjam jiwa dari yang lain adalah alasanku tetap berdiri diatas kepapanku. Tidak untuk mengais kotoran dari jiwa yang merasa suci, tidak untuk menengadah memohon sekeping uang logam dari jutawan yang merasa telah berkuasa. Tidak, dan sekali lagi tidak untuk itu semua.
Aku yang berkurap, tidak akan tetap terus menggaruk dan duduk meratap. Sedikitpun percikan api yang meletup-letup ringan di dalam diriku, akan kuwujudkan menjadi api yang berkobar di atas pelataran kemarahanku, panas, merah, lebih dari sekedar kobaran api yang mampu melelehkan baja, lebih dari sekedar kobaran api yang mampu membuatmu jadi abu. Lebih dari itu semua.
Ini yang akan kutunjukkan pada diriku yang kubenci, tidak untuk bagaimana bersikap. Tapi sejauh mana aku membawa diriku untuk tetap mengobarkan api itu tanpa harus membuat diriku juga hangus karenanya.
Doaku tidak akan jauh berbeda dengan doa-doa pada umumnya, hanya saja harapanku untuk dapat lebih mencintai diriku, lebih. Itu bukan untuk dapat menjadi orang lain.
Dan tidak semudah mengambil kotoran dari hidung kita, ada waktuku harus melaluinya, ada putaran bulan, suara pergantian alam. Untuk itulah aku yang membenci diriku, memaparkan apa yang tersumbat di ulu hati dan benakku.
Ne tulisan punya kakakku yang punya bakat nulis terpendam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar